Jumat, 30 September 2011

Pentingnya Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Kehidupan Bermasyarakat



Bahasa adalah alat komunikasi lingual manusia. Hal ini merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari—yang di dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status—bahasa tidak dapat ditinggalkan. Karena Manusia adalah makhluk sosial.


Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan.

Dalam mengembangkan diri, seorang individu akan berusaha untuk beradaptasi dengan bahasa yang ada di lingkungannya. Penelitian Chomsky tentang gen dan bahasa mengungkapkan bahwa seorang individu memiliki kemampuan alami untuk memahami bahasa secara umum yang akan beradaptasi untuk lebih spesifik memahami bahasa yang digunakan di lingkungannya. Proses adaptasi bahasa dalam seorang individu memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok yang memiliki bahasa yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses alamiah tersebut perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dengan individu yang lain dalam sebuah kelompok masyarakat.

Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam bentuk teks.Mungkin akan terkesan “ah, bahasa kan sama saja dengan perbincangan sehari-hari, apa susahnya sih? Toh, ucapan-ucapan itu bisa saja mudah dimengerti.” Memang terkesan bahwa bahasa tidak ada kaitannya dengan filsafat. Tapi Bahasa ternyata tidak hanya mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga dapat menjadi hal yang kompleks. Sebuah perjanjian antar negara juga menggunakan bahasa yang disepakati pihak-pihak yang terkait agar tercapai kesepakatan. Tanda-tanda yang hadir dalam kehidupan kita sehari-hari juga bagian dari bahasa. Contoh, rambu-rambu lalu lintas tentu akan sangat tidak efisien jika dituliskan dalam bentuk huruf.

sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Tantangan pembentukan identitas nasional melalui bahasa di Indonesia terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal bahasa persatuan ini harus menghadapi realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa Indonesia harus menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa daerah. Hal ini diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah terancam punah diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga pada daerah yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang baik dan benar.
Menurut pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai bahasa Asing, demikian Amran Halim.
Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991: 15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.

Saat ini tantangan terhadap bahasa Indonesia, baik internal maupun eksternal, merupakan hal yang tidak hanya mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya sebatas mengancam eksistensi bahasa Indonesia, namun menjadi sangat penting karena berkaitan dengan bahasa sebagai identitas dan kepribadian bangsa. Jika dihayati dari prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan kepribadian berkaitan dengan identitas sosial. Fenomena tingginya angka kriminalitas dan kenakalan remaja menjadi sebuah bukti dari kegamangan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
Kemudian kegamangan kepribadian tersebut membuat kesadaran bersatu meluntur. Tantangan disintegrasi bangsa semakin tinggi. Fenomena tawuran antar desa hingga antar suku merupakan salah satu jawaban yang dapat menyingkap kurang mengakarnya peran bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa. Dalam konteks kesadaran bersatu inilah kita dapat belajar dari kepemimpinan Orde Baru dalam mengopinikan “persatuan” meskipun caranya yang represif harus di evaluasi.