Bahasa adalah alat komunikasi lingual manusia. Hal ini
merupakan fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan
nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari—yang di
dalamnya selalu ada nilai-nilai dan status—bahasa tidak dapat ditinggalkan. Karena Manusia adalah makhluk sosial.
Manusia tidak dapat
lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari,
tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat berkomunikasi, saling
menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan
dalam bentuk tulisan.
Dalam mengembangkan diri, seorang individu akan berusaha
untuk beradaptasi dengan bahasa yang ada di lingkungannya. Penelitian Chomsky
tentang gen dan bahasa mengungkapkan bahwa seorang individu memiliki kemampuan
alami untuk memahami bahasa secara umum yang akan beradaptasi untuk lebih
spesifik memahami bahasa yang digunakan di lingkungannya. Proses adaptasi
bahasa dalam seorang individu memandunya untuk mengidentifikasikan dirinya pada
kelompok yang memiliki bahasa yang sama dengan dirinya. Maka dari itu proses
alamiah tersebut perlahan membentuk ikatan sosial antara individu dengan
individu yang lain dalam sebuah kelompok masyarakat.
Teori-teori yang
berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian menjadi alat bagi setiap
orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan
maupun dalam bentuk teks.Mungkin akan terkesan “ah, bahasa kan sama saja dengan
perbincangan sehari-hari, apa susahnya sih? Toh,
ucapan-ucapan itu bisa saja mudah dimengerti.” Memang terkesan bahwa bahasa
tidak ada kaitannya dengan filsafat. Tapi Bahasa ternyata tidak hanya mencakup
bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga dapat menjadi
hal yang kompleks. Sebuah perjanjian antar negara juga menggunakan bahasa yang
disepakati pihak-pihak yang terkait agar tercapai kesepakatan. Tanda-tanda yang
hadir dalam kehidupan kita sehari-hari juga bagian dari bahasa. Contoh,
rambu-rambu lalu lintas tentu akan sangat tidak efisien jika dituliskan dalam
bentuk huruf.
sebagai alat perhubungan antardaerah
dan antarbudaya.
Tantangan pembentukan identitas nasional melalui bahasa di
Indonesia terdiri dari tantangan internal dan eksternal. Secara internal bahasa
persatuan ini harus menghadapi realita bahwa Indonesia terdiri dari berbagai
bahasa dan budaya. Sehingga dalam proses sosialisasinya bahasa Indonesia harus
menuntaskan kegamangan antara menampilkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
dapat digunakan seluruh masyarakat tanpa melenyapkan bahasa daerah. Hal ini
diperumit dengan suatu kondisi dimana beberapa bahasa daerah terancam punah
diakibatkan sosialisasi bahasa Indonesia yang tidak mengindahkan perawatan
bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang harus dilestarikan. Sehingga pada daerah
yang masih tertinggal, bahasa ibu ditinggalkan karena tidak lebih prestise dibandingkan
bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia juga harus menghadapi realita
bahwa penuturnya sendiri sangat sedikit yang mau mempelajari kaidah bahasa yang
baik dan benar.
Menurut pendapat Amran Halim
(lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai
bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia
yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada
saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang
tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait
dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai
bahasa Asing, demikian Amran Halim.
Tantangan kedua, yakni
persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang
menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa
bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya
padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni.
Menurut Moeliono (1991: 15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang
tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam bahasa Indonesia.
Saat ini tantangan terhadap bahasa Indonesia, baik
internal maupun eksternal, merupakan hal yang tidak hanya mengancam eksistensi
bahasa Indonesia. Konsekuensi ancaman tersebut tidak hanya sebatas mengancam
eksistensi bahasa Indonesia, namun menjadi sangat penting karena berkaitan
dengan bahasa sebagai identitas dan kepribadian bangsa. Jika dihayati dari
prosesnya, awalnya masyarakat merubah gaya bahasanya lalu mempengaruhi tingkah
lakunya sehingga akan mengalami kegamangan norma dan kepribadian berkaitan
dengan identitas sosial. Fenomena tingginya angka kriminalitas dan kenakalan
remaja menjadi sebuah bukti dari kegamangan tersebut. Hal itu tidak terlepas dari
pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai
identitas (Verhaar, 1980: 11).
Kemudian kegamangan kepribadian tersebut membuat
kesadaran bersatu meluntur. Tantangan disintegrasi bangsa semakin tinggi.
Fenomena tawuran antar desa hingga antar suku merupakan salah satu jawaban yang dapat
menyingkap kurang mengakarnya peran bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa.
Dalam konteks kesadaran bersatu inilah kita dapat belajar dari kepemimpinan
Orde Baru dalam mengopinikan “persatuan” meskipun caranya yang represif harus
di evaluasi.